Rokok identik dengan sebuah ke negatifan, penimbul penyakit baik bagi perokok aktif itu sendiri maupun untuk orang sekitarnya. Betul adanya secara medis itu sudah terbukti secara empiris mengenai bahaya dari rokok, antara lain penyakit paru-paru kronis, merusak gigi dan menyebabkan bau mulut, menyebabkan stroke dan serangan jantung, tulang mudah patah, ganguan pada mata, menyebabkan kanker, dll. Ada dua jenis rokok dilihat dari mekanisme produksi yaitu SKM (Sigaret Kretek Mesin) dengan hasil produksi puluhan ribu perjamnya karena menggunakan mesin yang otomatis, dan SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang produksi tidak sebanyak seperti produk SKM, dua produk tersebut lah bisa kena cukai dengan di tandai pita cukai yang resmi dari pemerintah (dalam hal ini Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu) Menurut hasil survei Komite Nasional Pengendalian Tembakau(Komnas PT) bersama lembaga riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mayoritas warga atau 76,8% responden menyatakan bahwa jumlah konsumsi rokok di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan produksi rokok pada Agustus 2023 mencapai 30,31 miliar batang. Jumlah tersebut melesat 9,07% dibandingkan bulan sebelumnya. Produksi rokok pada Agustus tahun ini juga melambung 7,06% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun persentase perokok berdasarkan kelompok usia di Indonesia. Hasilnya, kelompok usia 35-44 tahun yang paling banyak merokok dengan persentase mencapai 34,69% pada 2022. Dari persentase kelompok usia itu, perokok paling banyak ditemukan di daerah Nusa Tenggara Barat atau NTB (39,53%) dan Bengkulu(39,37%). Posisi kedua disusul oleh kelompok usia 25-34 dengan proporsi 32,68%. Penyumbang terbanyak berasal dari Lampung (38,39%) dan Nusa Tenggara Barat (37,14%). Posisi ketiga diisi oleh kelompok usia 45-54 tahun dengan persentase 32,01%. Provinsi penyumbangnya adalah Lampung (37,81%) dan NTB serta Bengkulu dengan proporsi yang sama (36,36%). Dari kelompok usia yang menjadi sampel, persentase perokok terendah adalah kelompok usia 15-24 tahun dengan torehan 17,7%. Temuan ini berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2022. Di sisi lain dari segundang Mudhorotnya di produksinya rokok ada uang yang masuk ke kas negara sebagai penerimaan dan merupakan salah satu unsur APBN Indonesia yaitu Penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) mencatat bahwa penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hingga akhir Agustus 2023 adalah Rp126,8 triliun. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC,Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan bahwa angka realisasi tersebut setara dengan 54,53 persen dari target total CHT APBN 2023 sebesar Rp232,5 triliun. Angka yang fantastis untuk sumbangan ke APBN Indonesia,korelasi nya dari APBN yang salah satu sumbernya adalah CHT tersebut maka ada kewajiban untuk tetap mensosialisasikan terkait bahaya rokok melalui berbagai media dan juga ada dana yang harus di bagi kepada masyarakat dalam bentuk Bansos DBHCT diperuntukan untuk buruh tani tembakau dan karyawan pabrik rokok, ke sektor kesehatan, sektor media informasi, Mengapa produk tembakau harus bercukai dan diatur pemerintah sebab tembakau adalah barang yang dibatasi dalam penggunaan dan di atur supaya tetap terkontrol. Sosialisasi masih selalu di smapiakan melaluai banyak media baik cetak maupun online, sehingga untuk mereka yang memproduksi rokok namun tidak mengikuti aturan negara akan di tindak sesuai dengan aturan yang ada bisa sampai di pidanakaan. Maka sosialisasi menjadi unsur yang penting agar kepatuhan dilaksanakan dan tidak ada yang dirugikan, baik produsen maupun pemerintah, dan mari bersama-sama untuk "Gempur Rokok Ilegal"